Home
Penulis: Rara Nur’ Aini
Teman. Sedekat apapun mereka denganku, aku
tidak akan pernah menyebut mereka sahabat. Definisi sahabat dalam kamus hidupku
adalah mereka yang selalu mampu menerima kekuranganmu dan akan selalu
mendukungmu di masa-masa sulit di hidupmu. Ya, begitu.
Sedangkan definisi teman, hanya orang yang
kau kenal dan dia mengenalmu. Bukannya kau memanggil mereka semua teman? Meski
kalian tidak pernah berbincang satu sama lain.
Dan kupikir sudah kodratnya jika
manusia selalu mencari teman yang memiliki kebiasaan yang sama dengan dirinya
sendiri. Kalau kau suka baca buku, pasti kau mencari teman yang serupa.
Jika kau belum menemukannya, kau akan
terus mencari.
Ketika kau menemukannya, ternyata ia
memiliki kebiasaan yang tidak sama denganmu. Kau mencoba memahaminya. Tapi dia
yang tidak mau memahami kebiasaanmu.
Akhirnya kau kembali mencari. Terus dan
terus. Sampai ke lembaran akhir yang hanya terdapat halaman kosong disana.
Lalu terbersit dipikiranmu, tidak ada yang
namanya sahabat di dunia ini.
"Kau tahu? Terkadang kau hanya tak
acuh pada sekitarmu."
Aku melirik bangku di sampingku yang
sebelumnya kosong sekarang sudah diduduki oleh ketua kelasku. Apa maksud
ucapannya? Oh.. baiklah lelaki ini ketua kelas, jadi pasti dia tahu semua
masalah di kelas. Aku menghela napas. Menatap lurus papan tulis putih di depan
kelas.
Siapa yang tak kuacuhkan?
"Yang paling dekat denganmu, paling
mengerti sifatmu, dan tak akan mungkin mengkhianatimu."
Dia bisa membaca pikiran?
Namun saat mendengar kalimat itu, otakku
memutar sebuah gambar. Senyum ayah dan ibu yang membuat kerutan-kerutan di
wajahnya tertarik, muka kesal kakak saat headsetnya berulang kali aku rusak,
dan tangisan kedua adikku saat aku menjahili mereka.
"Kau tahu siapa?"
'Keluarga'. Kata itu tercetus begitu saja di kepalaku.
"Benar, keluarga."
Lelaki ini benar-benar bisa membaca
pikiran? Aku menoleh ke arahnya. Entah bagaimana semua berproses, tapi saat aku
melihat matanya, hatiku merasa hangat.
Ia mengalihkan pandangannya. Dan aku
melihat dengan jelas ujung bibirnya yang sekilas tertarik ke atas.
Aku bangkit dari kursi lalu menyampirkan
tas sekolah di bahuku. "Aku pulang."
Aku hampir mencapai pintu kelas saat
lelaki beriris coklat itu kembali berucap.
"Saat kau berkata 'pulang',
sebenarnya bukan menunjuk pada bangunannya. Tetapi pada mereka yang tinggal di
dalamnya."
Mendadak aku rindu masakan ibu, rindu
kemarahan kakak, rindu menemani belajar dua adikku, dan benar-benar rindu
pelukan ayah.
"That's home. Tempat yang akan selalu
menerimamu. Betapapun sering kau meninggalkannya."
Tanpa sadar senyumku mengembang. Rasanya
ingin berlari kencang agar cepat sampai rumah.
Aku menoleh pada lelaki bersurai hitam itu
lalu berusaha menyampaikan terima kasih dengan seulas senyum. Dari balasan
senyumnya yang meski hanya sedikit tersungging, aku tahu ia mengerti.
Sekarang semuanya terasa ringan. Sebab aku
tahu sesering apapun aku terluka nanti, aku selalu punya tempat untuk pulang.
Tempat untuk menyembuhkan luka dan kembali memulai segalanya tanpa merasa
terancam.
Keluarga. Mungkin hanya mereka yang bisa
kusebut sahabat.
Dan ketua kelasku itu suatu saat bisa
kusebut.. teman dekat mungkin?