Cari apa?

Selasa, 15 Desember 2015

Home

Home
Penulis: Rara Nur’ Aini

Teman. Sedekat apapun mereka denganku, aku tidak akan pernah menyebut mereka sahabat. Definisi sahabat dalam kamus hidupku adalah mereka yang selalu mampu menerima kekuranganmu dan akan selalu mendukungmu di masa-masa sulit di hidupmu. Ya, begitu.
Sedangkan definisi teman, hanya orang yang kau kenal dan dia mengenalmu. Bukannya kau memanggil mereka semua teman? Meski kalian tidak pernah berbincang satu sama lain.
 Dan kupikir sudah kodratnya jika manusia selalu mencari teman yang memiliki kebiasaan yang sama dengan dirinya sendiri. Kalau kau suka baca buku, pasti kau mencari teman yang serupa.
Jika kau belum menemukannya, kau akan terus mencari.
Ketika kau menemukannya, ternyata ia memiliki kebiasaan yang tidak sama denganmu. Kau mencoba memahaminya. Tapi dia yang tidak mau memahami kebiasaanmu.
Akhirnya kau kembali mencari. Terus dan terus. Sampai ke lembaran akhir yang hanya terdapat halaman kosong disana.
Lalu terbersit dipikiranmu, tidak ada yang namanya sahabat di dunia ini.
"Kau tahu? Terkadang kau hanya tak acuh pada sekitarmu."
Aku melirik bangku di sampingku yang sebelumnya kosong sekarang sudah diduduki oleh ketua kelasku. Apa maksud ucapannya? Oh.. baiklah lelaki ini ketua kelas, jadi pasti dia tahu semua masalah di kelas. Aku menghela napas. Menatap lurus papan tulis putih di depan kelas.
Siapa yang tak kuacuhkan?
"Yang paling dekat denganmu, paling mengerti sifatmu, dan tak akan mungkin mengkhianatimu."
Dia bisa membaca pikiran?
Namun saat mendengar kalimat itu, otakku memutar sebuah gambar. Senyum ayah dan ibu yang membuat kerutan-kerutan di wajahnya tertarik, muka kesal kakak saat headsetnya berulang kali aku rusak, dan tangisan kedua adikku saat aku menjahili mereka.
"Kau tahu siapa?"
'Keluarga'. Kata itu tercetus begitu saja di kepalaku.
"Benar, keluarga."
Lelaki ini benar-benar bisa membaca pikiran? Aku menoleh ke arahnya. Entah bagaimana semua berproses, tapi saat aku melihat matanya, hatiku merasa hangat.
Ia mengalihkan pandangannya. Dan aku melihat dengan jelas ujung bibirnya yang sekilas tertarik ke atas.
Aku bangkit dari kursi lalu menyampirkan tas sekolah di bahuku. "Aku pulang."
Aku hampir mencapai pintu kelas saat lelaki beriris coklat itu kembali berucap.
"Saat kau berkata 'pulang', sebenarnya bukan menunjuk pada bangunannya. Tetapi pada mereka yang tinggal di dalamnya."
Mendadak aku rindu masakan ibu, rindu kemarahan kakak, rindu menemani belajar dua adikku, dan benar-benar rindu pelukan ayah.
"That's home. Tempat yang akan selalu menerimamu. Betapapun sering kau meninggalkannya."
Tanpa sadar senyumku mengembang. Rasanya ingin berlari kencang agar cepat sampai rumah.
Aku menoleh pada lelaki bersurai hitam itu lalu berusaha menyampaikan terima kasih dengan seulas senyum. Dari balasan senyumnya yang meski hanya sedikit tersungging, aku tahu ia mengerti.
Sekarang semuanya terasa ringan. Sebab aku tahu sesering apapun aku terluka nanti, aku selalu punya tempat untuk pulang. Tempat untuk menyembuhkan luka dan kembali memulai segalanya tanpa merasa terancam.
Keluarga. Mungkin hanya mereka yang bisa kusebut sahabat.
Dan ketua kelasku itu suatu saat bisa kusebut.. teman dekat mungkin?


SELESAI



Rabu, 14 Oktober 2015

Hope

Hope


     Dalam berbagai hal, aku menyadari hati manusia memang selalu sulit dipahami. Kau menginginkan sesuatu, tapi kau tidak mau berusaha untuknya. Atau terkadang kita menginginkan sesuatu yang terlalu jauh dari jangkauan, jadi kita lebih sering mundur sebelum memulai segala sesuatunya.
   Aku mencintainya. Tidak. Aku tidak tahu apa itu cinta. Tapi menurut banyak artikel yang kubaca, rasa cinta itu seperti ada kepakan kupu-kupu di dalam perutmu. Aku juga tidak tahu apa penulis artikel itu pernah memelihara kupu-kupu di dalam perut, sehingga bisa mendeskripsikan hal seperti itu.
    Atau mungkin kupu-kupu itu memang ada di dalam perut setiap manusia. Tapi masih menunggu waktu yang tepat untuk mulai mengepakkan sayapnya. Dan kupikir, kupu-kupu milikku sudah bisa dengan gesit terbang ke seluruh penjuru sudut perutku. Karena kini aku mulai merasa mulas. Dan penyebabnya mungkin lelaki di depanku ini.
      Lelaki dengan alis mata tebal dan bola mata hitam cemerlang. Aku teringat saat ia tersenyum lebar setelah mencetak gol kemenangan untuk kelasnya saat class meeting. Kedua matanya melengkung keatas ikut membentuk senyuman. Sepertinya itu kali pertama kupu-kupuku mengepakkan sayap. Dan membuatku.. ikut tersenyum.
    Sudah sekitar satu jam aku dan dia duduk berhadapan di perpustakaan. Dan tak terhitung sudah berapa kali aku meliriknya. Entahlah, mungkin wajahnya memiliki kekuatan sepert magnet.

"Sudah selesai?"

"Ah.. ya sebentar lagi."

 Aku gelagapan lalu menjawab pertanyaannya dengan singkat dan cepat. 

"Setelah ini kau kemana?"

Kenapa? Ingin mengajak kencan?

"Aku.. langsung pulang."

"Dijemput?"

Kalau tidak, kau akan mengantarku pulang?

"Tidak, naik bis."

 Lelaki itu mengangguk seraya membulatkan mulutnya, "Tidak perlu ditunggu?"

"Hah?" 

    Sekarang wajahku pasti terlihat bodoh. Kalau ku bilang perlu, dia akan menunggu? Kupu-kupuku sepertinya terlalu kuat mengepakkan sayap menyebabkan perutku seperti ingin meledak. Sekarang bolehkah aku teriak? Aaaaaaa.

"Oh ya. Kau kan sudah besar. Haha."

     Baru kali ini aku ingin kembali menjadi anak kecil. Aku balas tersenyum tipis dan lanjut mengerjakan tugas.
   Sepulang sekolah tadi, guru fisika-ku meminta lelaki ini untuk mengajariku tugas fisika karena nilaiku.. begitulah. Aku tidak bodoh, hanya tidak mengerti saja. Lagipula meski aku tidak bisa fisika, nilaiku selalu bagus dalam pelajaran bahasa. Menurutku, setiap orang memiliki passion-nya masing-masing. Everyone, have their own passion.
  Aku meliriknya yang tengah mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya lalu mengetik. Ada sedikit senyum yang ia sunggingkan. 
     Aku menggerakan penaku diatas kertas yang sudah penuh dengan coretan rumus dan hitung-hitungan. Tugasku harus cepat selesai. Jika tidak, jantungku akan meledak sekarang juga karena detakkannya yang sudah diluar batas.

Kriit.

   Lelaki itu bangkit dan menggeser kursinya ke belakang lalu menaruh buku-buku miliknya ke dalam tas punggung. 

"Ada yang menunggu. Kau tidak apa kan ditinggal sendiri?" tanyanya dengan tas yang sudah tersampir di bahu.

Aku mengangguk kaku.

   Lelaki itu melangkah menjauh. Aku memandang punggung tegapnya dari belakang. Dengan sigap aku mengeluarkan ponsel dari kantung rokku lalu membuka aplikasi kamera. Ku arahkan ponselku padanya. Jejeran buku yang tersusun rapi di rak perpustakaan seperti menjadi background dan membuatnya menjadi satu-satunya fokus objek di layar ponselku. 

Ceklek

     Aku menurunkan ponselku lalu menoleh kearah pintu perpustakaan. Pintu itu sudah sedikit tua. Ada sedikit ukiran kuno di sisi-sisinya. Sedetik kemudian, muncul seorang perempuan dari balik sana. Rambutnya panjang bergelombang, tubuhnya langsing, kakinya jenjang sekali. Aku sampai mengelus kakiku sendiri.
 Kejadian selanjutnya membuatku memekik tertahan. Lelaki itu merangkul mesra perempuan tadi lalu membisikkan sesuatu yang membuat perempuan itu tersenyum. Senyuman perempuan itu.. jika aku menjadi laki-laki, mungkin aku akan langsung jatuh hati padanya. 

Kekasihnya, ya?

      Mereka melangkah keluar. Hah.. baguslah. Suasananya mendadak panas saat melihat mereka tadi. Padahal aku duduk tepat di bawah pendingin ruangan.
     Aku menumpukan daguku diatas tangan yang terlipat di atas meja. Memandangi jejak kepergian mereka. Ini ya rasanya patah hati? Ulu hatiku terasa dicubit. Dan bekasnya menyisakan perih yang susah hilang. Kupu-kupuku juga sudah tidak terasa kepakannya. Atau ia sudah kabur dari perutku. Tapi lewat mana?
  Kutegakkan tubuhku dan kutelengkan kepalaku. Menerawang sebentar, lalu mengedikkan bahu. 

Masih kekasih, kan? Semoga saja mereka cepat putus.

    Aku terkekeh dengan pikiranku sendiri. Tapi kan kemungkinan-kemungkinan selalu bisa terjadi. Aku merapihkan barang-barang bawaanku dan memasukkannya ke dalam tas lalu melangkah keluar perpustakaan dengan ringan.
     Menjadi sebatas pasangan kekasih bukan suatu ikatan yang membuat mereka tidak akan berpisah, kan? Hahaha. 

***